www.ujungjemari.com, SINTANG- Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2018 mewajibkan Penerimaan Peserta Didik Baru (PPDB) tahun ajaran 2019/2020 menggunakan sistem zonasi. Tak tanggung-tangngung, apabila sekolah tidak menerapkan sistem tersebut, maka akan ada sangksi dari pemerintah pusat. Meski begitu kebijakan pemerintah pusat tersebut mendapat pro dan kontra di mata masyarakat.
Menanggapi hal itu, Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPRD) Kabupaten Sintang, Tuah Mangasih mengatakan, bahwa setiap kebijakan yang diambil pemerintah pasti sudah dikaji sedemikian rupa oleh pihak-pihak terkait. Apa untung dan ruginya dan bagaimana dampaknya terhadap masyarakat luas, baik dari sisi sosial maupun dari sudut pandang lainnya.
“Hanya saja memang pada pelaksanaan di lapangan tentu akan berbeda, dari satu tempat ke tempat yang lainnya. Makanya belum tentu aturan itu cocok untuk seluruh wilayah Indonesia ini,” ujarnya saat dijumpai di DPRD Sintang belum lama ini.
Baca Juga : [related_posts] |
Maka dari itu, kata Politisi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) ini, perlu adanya evaluasi atas kebijakan pemerintah terkait sistem zonasi tersebut. Menurutnya sistem zonasi belum dapat diterapkan secara nasional.
“Adanya zonasi kalau dirasa malah semakin merepotkan dan menambah-nambah birokrasi dalam dunia pendidikan, maka perlu juga dievaluasi dan dicarikan formula yang lebih pas lagi dalam sistem penerimaan siswa baru,” katanya.
Tentu jelas Tuah, formulanya tersebut yang lebih simple dan praktis, sehingga tak membuat masyarakat keberatan. Setidaknya sesuai dengan perkembangan zaman yang serba mudah saat ini. “Tidak ada salahanya dicoba, tapi jangan dipaksakan,” pungkasnya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan (Kadisdikbud) Kabupaten Sintang, Lindra Azmar. Dikatakannya, bahwa berdasarkan Permendigbud Nomor 16 Tahun 2018, bahwa sisten penerimaan siswa baru sudah mengunakan jalur zonasi.
“Jalur ini bertujuan mendekatkan pelayanan pendidikan dari anak-anak ke sekolah. Jadi tidak ada lagi kesan bahwa ada sekolah favorite. Semua sekolah itu kesannya harus sama,” ujarnya.
Tentu kewajiban pemerintah adalah bagaimana menyiapkan sarana dan prasaran serta guru yang mencukupi, agar kesan sekolah favorite tersebut dapat hilang dengan sistem zonasi ini. “Ini yang menjadi PR bagi pemerintah. Jangan sampai ada siswa yang hanya jadi penonton di sekolah yang ada depan mata mereka, karena mereka tidak bisa masuk ke sekolah tersebut,” terangnya.
Ia juga mengatakan, sistem zonasi ini yaitu 90 persen siswa yang dekat dengan sekolah, 5 persen untuk siswa yang berprestasi dan 5 persen siswa yang pindah tempat tinggal, itu pun setelah satu tahun pindahnya.
Sistem ini sebenarnya langkah tepat yang diambil pemerintah. Salah satu contoh, sistem ini dapat menghindari siswa mengunakan kendaraan sendiri untuk pergi ke sekolah. Apalagi mereka belum cukup umur dan belum ada SIM,” pungkasnya. (Tim-Red)